A.
PEMBAHASAN
Masalah al-wala’ (loyalitas/kecintaan) dan al-bara’
(berlepas diri/kebencian) adalah masalah yang sangat penting dan ditekankan
kewajibannya dalam Islam, bahkan merupakan salah satu landasan keimanan yang
agung, yang dengan melalaikannya akan menyebabkan rusaknya keimanan
seseorang.[1]
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata, al-baraa’ah (sikap berlepas diri/kebencian)
adalah kebalikan dari al-wilaayah (loyalitas/kecintaan), asal dari
al-baraa’ahadalah kebencian dan asal dari al-wilaayah adalah kecintaan, yang
demikian itu karena hakikat tauhid adalah (dengan) tidak mencintai selain Allah
dan mencintai apa dicintai Allah karena-Nya, maka kita tidak (boleh) mencintai
sesuatu kecuali karena Allah dan (juga) tidak membencinya kecuali
karena-Nya”.[2]
Imam Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah berkata, “Sesungguhnya barangsiapa yang mentaati
Rasulshallallahu ‘alahi wa sallam dan mentauhidkan Allah maka dia tidak boleh
berloyalitas (mencintai) orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alahi wa sallam, meskipun orang tersebut adalah kerabat terdekatnya”.[3]
Syeikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah ketika menjelaskan masalah ini, beliau berkata,
”Setelah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, wajib (bagi setiap muslim untuk)
mencintai para kekasih Allah (orang-orang yang beriman) dan membenci
musuh-musuh-Nya. Karena termasuk prinsip-prinsip dasar akidah Islam adalah
kewajiban setiap muslim yang mengimani akidah ini untuk mencintai orang-orang
yang mengimani akidah Islam dan membenci orang-orang yang berpaling darinya.
Maka seorang muslim (wajib) mencintai dan bersikap loyal kepada orang-orang
yang berpegang teguh kepada tauhid dan memurnikan (ibadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala semata), sebagaimana (dia wajib) membenci dan memusuhi
orang-orang yang berbuat syirik (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Dan ini merupakan
bagian dari agama (yang dianut) nabi Ibrahim shallallahu ‘alahi wa sallam dan
orang-orang yang mengikuti (petunjuk)nya, yang kita diperintahkan untuk
meneladani mereka, dalam firman Allah,
{قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا
لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا
بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى
تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ}
“Sesungguhnya telah ada
suri tauladan yang baik bagimu pada (diri nabi) Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:”Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata.” (QS.
Al-Mumtahanah: 4).
Juga merupakan bagian
dari agama (yang dianut) nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam,
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan Nasrani sebagai
kekasih/teman dekat(mu); sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai kekasih/teman dekat,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).[4]
B.
Kedudukan
al-wala’ dan al-bara’ dalam Islam
Ketika menjelaskan agungnya kedudukan masalah ini dalam
keimanan dan tauhid, Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Tidak akan lurus
(benar) keislaman seseorang, meskipun dia telah mentauhidkan Allah dan menjauhi
(perbuatan) syirik, kecuali dengan memusuhi orang-orang yang berbuat syirik dan
menyatakan kepada mereka kebencian dan permusuhan tersebut[5].”
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata, “Jika keimanan dan kecintaan di dalam hati
seorang (muslim) kuat, maka hal itu menuntut dia untuk membenci musuh-musuh
Allah[6].”
Syeikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahullah lebih lanjut menjelaskan, “Sikap loyal dan
cinta terhadap orang-orang yang menentang Allah menunjukkan lemahnya keimanan
dalam hati seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, karena tidaklah masuk akal
jika seseorang mencintai sesuatu yang dimusuhi kekasihnya (Allah Subhanahu wa
Ta’ala). Bersikap loyal terhadap orang-orang kafir adalah dengan menolong dan
membantu mereka dalam kekafiran dan kesesatan yang mereka lakukan, sedangkan
mencintai mereka adalah dengan melakukan sebab-sebab yang menimbulkan kecintaan
mereka, yaitu berusaha mencari kecintaan (simpati) mereka dengan berbagai cara.
Tidak diragukan lagi perbuatan ini akan menghilangkan kesempurnaan iman atau
keseluruhannya. Maka wajib bagi seorang mukmin untuk membenci dan memusuhi
orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun orang tersebut adalah
kerabat terdekatnya, akan tetapi ini tidak menghalangi kita untuk menasehati
dan mendakwahi orang tersebut kepada kebenaran[7].”
Dalil-dalil yang
menunjukkan wajibnya al-wala’ dan al-bara’
Dalil-dalil yang
menunjukkan hal ini – selain dua ayat di atas – banyak sekali, diantaranya
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
{لا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ
أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ
مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ
اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
“Kamu tidak akan
mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun mereka itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga
mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam
hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, dan Dia
menempatkan mereka di dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah
sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS.
Al-Mujaa\dilah:22).
Syeikh Abdurrahman
As-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata, “…Seorang hamba
tidak akan menjadi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dengan
(keimanan) yang sebenarnya kecuali setelah dia mengamalkan kandungan dan
konsekuensi imannya, yaitu mencintai dan berloyalitas kepada orang-orang yang
beriman (kepada Allah), serta membenci dan memusuhi orang-orang yang tidak
beriman, meskipun mereka orang yang terdekat hubungannya dengannya.
Inilah keimanan yang
hakiki yang menumbuhkan buah dan hasil (yang benar) Adapun orang yang mengaku
dirinya beriman kepada Allah dan hari akhirat, tapi bersamaan dengan itu dia
mencintai musuh-musuh Allah dan menyayangi orang-orang yang mencampakkan iman
dibelakangnya, maka ini adalah iman yang (cuma) pengakuan (tapi) tidak ada
(bukti) nyatanya. Karena segala sesuatu harus disertai bukti (nyata) yang
membenarkannya, adapun sekedar pengakuan (tanpa bukti) maka tidak ada artinya
dan tidak membenarkan pelakunya[8].”
Juga dalam firman-Nya,
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ
إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ}
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai
kekasihmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa
yang di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai kekasih, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (QS. At-Taubah: 23).
Demikian pula sabda
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
“من
أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان”
“Barangsiapa yang
mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak
memberi karena-Nya, maka sungguh telah sempurna keimanannya”[9]
C. Kaitan-kaitan Al-Wala' Wal-Bara
dibagi menjadi 4
1)
Perkataan; zikir dicintai Allah, mencela
dan menuduh dibenci Allah.
2)
Perbuatan; (sholat, puasa, zakat,
sedekah, dan berbuat kebajikan) dicintai Allah, (riba, zina, minum khamr)
dibenci Allah.
3)
Kepercayaan; (iman, tauhid) dicintai
Allah, (kufur, syirik) dibenci Allah.
4)
Orang; orang beriman yang mengesakan
Allah dicintai Allah, orang kafir dan musrik dibenci Allah
D. Kedudukan Aqidah Al-Wala' Wal-Bara'
dalam Syariat Islam.
a)
Bagian penting dari makna syahadat
b)
Bagian dari ikatan iman yang terkuat
c)
Sebab utama hati bisa rasakan manisnya
iman
d)
Tali hubungan di atas mana masyarakat
Islam dibangun
e)
Meraih pahala yang sangat besar
f)
Perintah syariat untuk dahulukan
hubungan ini daripada hubungan lain
g)
Jika konsep ini teraplikasi, akan
memperoleh walayatullah (lindungan dan kewalian dari Allah)
h)
Tali penghubung yang kekal di antara
manusia hingga hari kiamat
i)
Syarat sahnya ucapan syahadat
j)
Jika konsep ini tidak dijalankan,
menjadi kafir.
k)
Penyempurna keimanan
E. Pembagian sikap al-wala’ dan
al-bara’ kepada orang-orang kafir dan musyrik[10]
Sikap al-wala’ dan
al-bara’ kepada orang-orang kafir dan musyrik ada dua macam dan keduanya
memiliki hukum yang berbeda, yaitu:
1- At-Tawalli, yang
berarti mencintai perbuatan syirik dan pelakunya, atau menolong, membantu dan
mendukung mereka untuk (melawan) orang-orang mukmin, atau senang dengan semua
itu, maka ini (hukumnya) adalah kekafiran yang besar (yang menyebabkan
seseorang keluar/murtad dari agama Islam).
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ}
“Barangsiapa di antara
kamu menjadikan mereka sebagai kekasih/teman dekat, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka.” (QS. al-Maa-idah: 51).
Imam Al-Bhagawi
rahimahullah berkata, “Keimanan seorang mukmin akan rusak dengan dia mencintai
orang-orang kafir.”[11]
Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah telah menyebutkan hal ini termasuk hal-hal yang membatalkan
keislaman seseorang dan beliau rahimahullah berargumentasi dengan ayat di
atas[12]
2- Al-Muwaalaah, yang
berarti saling berkasih sayang dan bersahabat, lawannya saling bermusuhan dan
membenci. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata,
“Sesungguhnya al-wilaayah(loyalitas/kecintaan) adalah lawan dari al-’adaawah
(permusuhan), dan al-wilaayah mengandung (konsekuensi) kecintaan dan kecocokan,
sedangkan al-’adaawah mengandung (konsekuensi) kebencian dan
ketidakcocokan.”[13]
Patokan (dalam menilai)
al-Muwaalaah adalah mencintai orang-orang yang berbuat syirik karena (urusan)
dunia (semata), dan tidak ada padanya (unsur) menolong (keyakinannya). Ini
hukumnya termasuk perbuatan dosa besar (tapi tidak sampai tingkat kekafiran). Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ
إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ}
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman dekat
yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita nabi Muhammad shallallahu
‘alahi wa sallam) karena rasa kasih
sayang.” (QS. Al-Mumtahanah:1).
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata, “Terkadang seorang (muslim)
mencintai orang kafir karena (ada hubungan) keluarga atau keperluan (dunia),
maka kecintaan ini adalah perbuatan dosa yang mengurangi (kesempurnaan)
imannya, akan tetapi tidak menjadikannya kafir (keluar dari Islam), sebagaimana
yang terjadi pada Hathib bin Abi Balta’ah[14] radhiallahu ‘anhu.”[15]
Maka perbadaan antara
at-tawalli dan al-muwaalaah adalah bahwa at-tawalli termasuk kekafiran besar
yang menyebabkan pelakunya keluar (murtad) dari agama Islam, sedangkan
al-muwaalaah adalah dosa besar (yang tidak sampai tingkat kekafiran).
Syeikh Abdullah bin
Abdul Lathif – semoga Allah merahmatinya – pernah ditanya tentang perbedaan
antara al-muwaalaah dan at-tawalli ? Maka beliau menjawab, “ at-tawalli adalah
kekafiran yang menyebabkan pelakunya keluar (murtad) dari agama, seperti
membela dan menolong orang-orang kafir dengan harta, raga dan pikiran.
Sedangkan al-muwaalaah adalah termasuk dosa besar, seperti (membantu) mengisi
tinta (pulpen), atau meraut pensil, menampakkan (wajah yang) berseri-seri (di
hadapan) mereka, atau mengangkatkan cambuk bagi mereka”[16]
F. Bagaimana menempatkan sikap
al-wala’ dan al-bara’ pada manusia sesuai dengan kadar ketaatan dan kemaksiatan
mereka?[17]
Dalam
hal ini manusia dibagi menjadi tiga golongan:
1- Orang-orang yang
wajib dicintai dengan kecintaan yang murni dan tanpa kebencian (sama sekali).
Mereka ini adalah
orang-orang yang memiliki keimanan yang murni (sempurna), dari kalangan para
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shiddiq[18], orang-orang yang mati
syahid dan orang-orang yang Shalih.
Yang paling utama
adalah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau wajib untuk dicintai
melebihi kecintaan kepada diri sendiri, orang tua, anak dan semua manusia.
Kemudian istri-istri
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan anggota keluarga beliau, serta para
sahabat radhiallahu ‘anhum, terutama Al-Khulafa’ur raasyidin (khalifah yang
empat), sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga, para sahabat
muhajirin dan anshar, para sahabat yang ikut perang Badar, para sahabat yang
ikut dalam baiat ridwan, dan para sahabat lain secara keseluruhan radhiallahu
‘anhum.
Kemudian para tabi’in,
para ulama dari tiga generasi utama, para ulama salaf dan imam mereka, seperti
imam mazhabyang empat.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
{وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَااغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
“Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya tuhan kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman dari
kami, dan janganlah Engkau menjadikan dalam hati kami (ada) rasa dengki
terhadap orang-orang yang beriman, ya tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr:10).
Orang yang memiliki
iman dalam hatinya tidak mungkin membenci para sahabat radhiallahu ‘anhum dan
para ulama salaf. Yang membenci mereka hanyalah orang-orang yang menyimpang
(agamanya), orang-orang munafik dan musuh-musuh Islam, seperti orang-orang
Rafidhah (Syi’ah) dan Khawarij, semoga Allah menyelamatkan kita (dari
penyimpangan mereka).
2- Orang-orang yang
wajib dibenci dan dimusuhi dengan kebencian dan permusuhan yang murni tanpa ada
rasa cinta dan sikap loyal (sama sekali).
Mereka ini adalah
orang-orang kafir yang murni (kekafirannya), dari kalangan orang-orang kafir,
musyrik, munafik, murtad (keluar dari agama Islam), dan orang-orang yang mulhid
(menyeleweng/menyimpang jauh dari agama Islam, seperti orang-orang zindik),
dengan berbagai macam dan golongan mereka.
3- Orang-orang yang
(wajib) dicintai dari satu sisi (karena keimanan dan ketaatannya), dan dibenci
dari sisi yang lain (karena perbuatan maksiatnya). Maka terkumpul pada diri
mereka ini kecintaan dan kebencian sekaligus.
Mereka ini adalah
oang-orang mukmin yang berbuat maksiat. Mereka wajib dicintai karena mereka
memiliki iman, dan dibenci karena mereka melakukan perbuatan maksiat yang tidak
sampai pada tingkat kekafiran dan kesyirikan.
Kecintaan kepada mereka
ini mengandung konsekuensi menasehati dan mengingkari (perbuatan maksiat)
mereka. Kita wajib memerintahkan mereka untuk berbuat baik dan melarang mereka
dari kemungkaran, serta menegakkan batasan dan hukum Allah kepada mereka,
sampai mereka meninggalkan perbuatan maksiat dan bertobat dari kesalahan
mereka.
G. Beberapa contoh perbuatan yang
menunjukkan loyalitas kepada orang-orang kafir[19]
• Menyerupai mereka dalam berpakaian,
berbicara dan lain-lain.
Karena menyerupai
mereka dalam hal-hal tersebut menunjukkan kecintaan kepada mereka. Oleh karena
itulah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”[20]
Maka diharamkan
menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang merupakan kekhususan mereka
(yang membedakan mereka dengan orang-orang muslim), berupa adat-istiadat,
peribadatan, penampilan dan tingkah laku mereka, seperti mencukur jenggot dan
memanjangkan kumis, berbicara dengan bahasa mereka tanpa ada keperluan, model
pakaian, tata cara makan, minum dan sebagainya.
• Bermukim di negeri mereka dan tidak
mau pindah (hijrah) ke negeri kaum muslimin untuk keselamatan/kebaikan agama.
Hijrah dalam arti dan
untuk tujuan ini wajib bagi seorang muslim, karena bermukim di negeri
orang-orang kafir menunjukkan loyalitas kepada mereka.
Oleh karena itulah,
Allah mengharamkan bagi seorang muslim untuk tinggal di lingkungan orang-orang
kafir kalau dia mampu untuk berhijrah (ke negeri kaum muslimin). Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ
فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا
فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا، إلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ
الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ
سَبِيلاً، فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا
غَفُورًا}
“Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka
menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).’ Para
malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah
dibumi itu.’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki
atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak
mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya.
Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.’” (QS. An-Nisaa’:97-99).
(Dalam ayat ini) Allah
tidak memberi uzur untuk bermukim di negeri orang-orang kafir kecuali bagi
orang-orang lemah yang tidak mampu berhijrah. Demikian pula orang-orang yang
bermukim (di negeri orang-orang kafir) untuk kemaslahatan agama, seperti
berdakwah (menyeru manusia) ke jalan Allah dan menyiarkan agama Islam di negeri
mereka.
• Bepergian (berkunjung) ke negeri
mereka dengan tujuan rekreasi dan bersenang-senang.
Bepergian ke negeri
orang-orang kafir haram (hukumnya) kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti
berobat, berdagang, dan mempelajari bidang-bidang (ilmu) tertentu yang
bermanfaat (bagi kaum muslimin), yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan
bepergian ke (negeri) mereka. Maka ini diperbolehkan sesuai dengan kebutuhan
(secukupnya), dan jika telah selesai kebutuhannya wajib (untuk segera) kembali
ke negeri kaum muslimin.
Bolehnya bepergian (ke
negeri mereka) ini dengan syarat seorang muslim (wajib) menampakkan dan merasa
bangga dengan keislamannya, serta menjauhi tempat-tempat yang buruk, dalam
rangka mewaspadai tipu daya mereka. Demikian pula bepergian (ke negeri mereka)
diperbolehkan atau (bahkan) diwajibkan jika tujuannya untuk berdakwah ke jalan
Allah dan menyiarkan agama Islam.
• Menolong dan membantu mereka (untuk
melawan) kaum muslimin, serta memuji dan membela mereka.
Ini termasuk pembatal
keislaman dan sebab (yang menjadikan seseorang) murtad (keluar dari Islam),
kita berlindung kepada Allah dari semua itu.
• Meminta tolong, memberikan
kepercayaan dan menempatkan mereka pada jabatan-jabatan yang padanya ada
rahasia-rahasia kaum muslimin, serta menjadikan mereka sebagai orang
kepercayaan dan penasehat.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا
مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ، هَا أَنْتُمْ
أُولاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا
لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الأنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ
قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُور، إِنْ تَمْسَسْكُمْ
حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا
وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ}
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang selain kaum
muslimin, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan
bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu, telah nyata kebencian dari mulut
mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh
telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Beginilah kamu, kamu mencintai mereka, padahal mereka tidak mencintai kamu, dan
kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka
berkata, “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung
jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):
“Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi
hati. Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika
kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan
bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan
kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS.
Ali ‘Imran: 118-120).
• Menggunakan penanggalan
(kalender) mereka, khususnya penanggalan
yang mencantumkan upacara-upacara agama dan perayaan-perayaan mereka, seperti
penanggalan Masehi.
Penanggalan Masehi
dibuat untuk mengingat kelahiran nabi Isa al-Masih ‘alaihi wa sallam (menurut
persangkaan mereka), yang ini mereka ada-adakan sendiri dan bukan berasal dari
ajaran nabi Isa ‘alaihi wa sallam. Maka menggunakan penanggalan ini berarti
ikut serta dalam menghidupkan syiar agama dan hari raya mereka.
Maka untuk menghindari
semua inilah, ketika para sahabat radhiallahu ‘anhum ingin membuat penanggalan
untuk kaum muslimin, di jaman khalifah Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu,
mereka tidak mau menggunakan penanggalan-penanggalan orang-orang kafir, tetapi
mereka membuat penanggalan berdasarkan (waktu) hijrahnya Rasulullahshallallahu
‘alahi wa sallam (penanggalan Hijriah), yang ini menunjukkan wajibnya
membedakan diri dengan orang-oang kafir dalam hal-hal yang merupakan kekhususan
mereka.
• Ikut berpartisipasi dalam
perayaan-perayaan (keagamaan) mereka, atau membantu mereka dalam
pelaksanaannya, atau menyampaikan ucapan selamat dalam rangka perayaan
tersebut, atau mendatanginya.
Sebagian ulama ahlus
sunnah ada yang menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
{والَّذِيْنَ لا يَشْهَدُوْنَ
الزُّوْرَ}
“Dan orang-orang yang
tidak menghadiri (hal-hal yang bersifat) kedustaan/perayaan-perayaan
orang-orang kafir.” (QS. Al-Furqan: 72).
Artinya: termasuk sifat
hamba-hamba Allah (yang bertakwa) adalah mereka tidak menghadiri
perayaan-perayaan orang-orang kafir.
• Memuji dan menyanjung peradaban dan
kemajuan (tekhnologi) mereka, serta mengagumi tingkah laku dan kemajuan ilmu
pengetahuan mereka, tanpa memandang agama dan keyakinan mereka yang rusak.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
{وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ
إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ
فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى}
“Dan janganlah kamu
tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada
golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami
cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal.”
(QS. Thaaha: 131).
Akan tetapi, ini bukan
berarti kaum muslimin tidak diperbolehkan mengusahakan sebab-sebab kekuatan
(kemajuan) dengan mempelajari (tekhnologi di bidang) industri dan penunjang
(bidang) ekonomi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, serta strategi
ketentaraan, bahkan ini semua harus diusahakan (oleh kaum muslimin).
Bahkan (pada
hakikatnya) semua kemanfaatan dan kebaikan yang tersimpan di alam semesta ini
asalnya adalah untuk kaum muslimin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ
اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ
آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ}
“Katakanlah:”Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik”.
Katakanlah:”Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” (QS. al-A’raaf:
32).
• Menggunakan nama-nama mereka.
Kita dapati sebagian
kaum muslimin memberi nama putra-putri mereka dengan nama-nama asing
(barat/kafir) dan meninggalkan nama-nama yang telah dikenal di (kalangan)
masyarakatnya (masyarakat muslim).
Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam telah bersabda, “Nama yang paling dicintai Allah Subhanahu wa
Ta’ala adalah Abdullah dan Abdurrahman.”[21]
• Memintakan ampun dan memohon rahmat
(Allah) untuk mereka.
Allah telah
mengharamkan perbuatan ini dalam firman-Nya:
{مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ
آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ}
“Tiadalah sepatutnya
bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya),
sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni
neraka Jahannam.” (QS. At-Taubah: 113).
Karena perbuatan ini
menunjukkan kecintaan kepada mereka dan membenarkan apa yang ada pada mereka.
Catatan penting
Perlu dicamkan di sini,
bahwa sikap al-wala’ dan al-bara’ terhadap orang-orang kafir ini tidak kemudian
menjadikan kita berbuat melampaui batas dan menzhalimi mereka, dengan melakukan
hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam syariat, seperti membunuh/menganiaya
orang yang tidak bersalah di antara mereka, mengambil harta mereka tanpa alasan
yang benar, dan sebagainya.
Allah Ta’ala telah mengingatkan
hal ini dalam firman-Nya,
{لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ
عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ
أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}
“Allah tiada melarang
kamu untuk berbuat baik (dalam urusan dunia) dan berlaku adil terhadap
orang-orang (kafir) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8).
Syeikh Shalih bin
FauzanAl-Fauzan berkata, “Makna ayat ini: orang-orang kafir yang tidak
mengganggu dan memerangi kaum muslimin, serta tidak mengusir kaum muslimin dari
negeri mereka, maka kaum muslimin membalas (kebaikan mereka) itu dengan balasan
yang sesuai, (yaitu) dengan berbuat baik dan adil dalam urusan dunia, akan
tetapi dalam hati kaum muslimin tidak boleh mencintai mereka. Karena (dalam
ayat ini) Allah membolehkan berbuat baik (dalam urusan dunia) dan berlaku adil
terhadap orang-orang (kafir) tersebut, dan Dia tidak mengatakan (bolehnya)
mencintai dan bersikap loyal kepada mereka.”
Semakna dengan ini,
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang kedua orang tua yang kafir,
{وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى
أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي
الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ}
“Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS.
Luqmaan: 15).
Dan dalam hadits yang
shahih Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda kepada Asma t ketika
ibunya yang kafir datang kepadanya, “Sambunglah (hubungan kekeluargaan) dengan
ibumu.”[22]
Maka menyambung
hubungan keluarga dan balasan (kebaikan) duniawi tidak sama dengan mencintai
dan bersikap loyal.
Karena menyambung
hubung keluarga dan pergaulan yang baik merupakan daya tarik bagi orang-orang
kafir untuk masuk Islam, maka ini termasuk cara untuk mendakwahi mereka.
Berbeda dengan sikap loyal dan cinta yang menunjukkan pembenaran dan keridhaan
terhadap perbuatan mereka, yang ini justru merupakan sebab untuk tidak
mendakwahi/mengajak mereka untuk masuk Islam.
Demikian pula keharaman
bersikap loyal kepada orang-orang kafir tidak berarti diharamkannya menjalin
hubungan dengan mereka dalam urusan perdagangan yang tidak bertentangan dengan
syariat Islam, import barang-barang dan hasil industri (mereka) yang
bermanfaat, serta mengambil manfaat dari pengalaman dan penemuan-penemuan
mereka.
Karena Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam pernah menyewa Ibnu Uraiqith Al-Laitsi sebagai
penunjuk jalan, padahal dia orang kafir. Sebagaimana beliau shallallahu ‘alahi
wa sallam pernah berhutang kepada seorang (yang beragama) Yahudi.
Dari dulu sampai
sekarang kaum muslimin meng-import barang-barang dan hasil idustri dari
orang-orang kafir. Kita membeli barang-barang tersebut dari mereka dengan
membayar harganya, sehingga sama sekali tidak ada jasa dan kebaikan mereka
untuk kita (dalam masalah ini).[23]
Syeikh Abdul Muhsin
Al-Qasim hafidhahullah[24] ketika menjelaskan masalah ini, beliau berkata,
“Meskipun (kita wajib) membenci dan memusuhi mereka, serta berlepas diri dari
sembahan-sembahan mereka (selain Allah), akan tetapi (agama) Islam mengharamkan
(umatnya) membunuh orang kafir yang terjaga (jiwanya), yaitu orang
kafirdzimmi,[25] mu’aahad[26], dan musta’man[27], dan Islam melarang (kita)
merampas harta, menganiaya, atau melampaui batas terhadap mereka.”
Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang
membunuh (orang kafir) mu’aahad maka dia tidak akan mencium wanginya surga,
padahal wanginya bisa tercium dari jarak empat puluh tahun perjalanan.”[28]
Bahkan meskipun
membenci mereka, kita wajib mendakwahi mereka ke (jalan) Allah dengan hikmah
dan ilmu, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam bersama orang-orang musyrik.
Agama Islam adalah
(agama) yang moderat dalam meyakini sikap al-wala’ dan al-bara’, Islam tidak
mengajarkan sikapekstrim dalam masalah ini dengan membunuh orang-orang kafir
yang terjaga (jiwanya). (Sebagaimana Islam juga tidak mengajarkan) sikap
terlalu longgar dalam masalah ini dengan bersikap loyal yang diharamkan, atau
at-tawalli (kecintaan kepada orang-orang kafir) yang menyebabkan pelakunya
keluar/murtad dari agama Islam.
Wajib bagi setiap
muslim untuk bersikap adil (moderat) dalam menerapkan ibadah yang agung ini,
dan menjauhi sikap ekstrim dan longgar (dalam masalah ini). Hendaknya kita
menerapkan semua ini berdasarkan ilmu dan petunjuk dalam syariat Islam (Alquran
dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam)[29]
PENUTUP
DAN DAFTAR PUSTAKA
Demikianlah, semoga
tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, dan semoga Allah menjadikan kita
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang Allah teguhkan keimanan dalam hati
mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, serta menempatkan
mereka di dalam surga-Nya, Amin.
وصلى الله وسلم وبارك على
نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, 23 Ramadhan 1430 H.
Abdullah bin Taslim
al-Buthoni
Sumber:
www.manisnyaiman.com
________________________________________
[1] Lihat kitab
Taisiirul wushul, (hal. 36) tulisan Syaikh Abdul Muhsin al-Qaasim
[2] Kitab Majmu’ul
Fataawa,, (10/465).
[3] Kitab Al-Ushuluts
Tsalaatsah, (hal. 8).
[4] Kitab Al-Wala’ wal
Bara’ fil Islam, (hal. 2)
[5] Kitab Ad-Durarus
Saniyyah, (8/331).
[6] Kitab Majmu’ul
Fataawa, (7/522).
[7] Syarhu tsalaatsatil
ushul (hal. 36).
[8] Taisiirul Kariimir
Rahman (hal. 623).
[9] HR. Abu Dawud (no. 4681) dan Hakim (no. 2694),
dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Al-AlbanirahimahumullahA