BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama
yang sempurna di muka bumi ini, semua sisi kehidupan manusia dan makhluk Allah
telah digariskan oleh Islam melalui Kalam Allah swt ( Al Qur’an ) dan Al
Hadits. Al Qur’an sudah jelas di tanggung keasliannya oleh Allah swt sampai
akhir nanti, bagaimana dengan Al Hadits.
Hadits merupakan
salah satu sumber Islam yang utama, tetapi tidak sedikit umat Islam yang belum
memahami apa itu hadits. Sehingga dikhawatirkan suatu saat nanti akan terjadi
kerancuan dalam hadits, karena tidak mengertinya dan mungkin karena kepentingan
sebagian kelompok untuk membenarkan pendapat kelompok tersebut. Sehingga mereka
menganggap yang memakai bahasa arab dikatakan al hadits oleh orang yang tidak
bertanggung jawab itu mereka anggap hadits.
Hadits atau yang
lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan. Dan
peran hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang diakui oleh masyarakat
mahdzab tidak dapat dinafikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang
dimaksud dengan Hadis, sunnah, khobar dan Atsar?
2. Apa yang di maksud
dengan kewahyuan hadits
3. Perbedaan hadits
dan sunah
4. kewahyuan hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits, Sunnah,
Khabar, dan Atsar
1. Definisi Hadits
Pengertian hadis
Hadis mempunyai
beberapa sinonim / muradif menurut para pakar ilmu hadis, yaitu sunnah, khabar,
dan atsar. Masing – masing istilah ini nanti akan dibicarakan pada pembahasan
berikut. Sekarang akan dibahas pengertian hadis, karena yang banyak disebut di
tengah – tengah masyarakat islam adalah hadis. Sunnah juga sering disebut oleh
sebagian masyarakat tetapi terkadang dimaksudkan makna berganda. Sebelum
berbicara pengertian hadis secara terminologi terlebih dahulu dibicarakan dari
segi etimologi. Kata “ hadis ” ( hadist ) berasal dari akat kata :
حَدَ
ثَ يَحْدُثُ حُدُوْ ثَا
وَحَدَاَ ثةَ
Hadis dari akar kata di atas memiliki beberapa maka, di antaranya :
1. الْجِدَّة ( al – jiddah = baru ), dalam arti sesuatu
yang ada setelah tidak ada atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan
dari kata al – qadim = terdahulu, misalnya : الْعا
لمُ حَدِ يْثُ / حَاِدثُ alam baru.Alam maksudnya segala sesuatu selain Allah, baru
berarti diciptakan setelah tidak ada. Makna etimologi ini mempunyai konteks
teologis, bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat hadits ( baru ), sedangkan kalam Allah bersifat
qadim ( terdahulu ).[1]
2. الطَّرِ يُّ ( ath – thari = lunak, lembut dan baru ).
Misalnya : الرَّ جُلُ
الْحَدَ ث
Pemuda laki – laki. Ibnu faris mengatakan bahwa hadis dari kata ini
karena berita atau kalam itu datang secara silih berganti bagaikan perkembangan
usia yang silih berganti dari masa ke masa.
3. اْلخَبَرُ وَالْكَلَامُ( al – khabar = berita, pembicaraan dan
perkataan ), oleh karena itu ungkapan pemberitaan hadis yang diungkapkan oleh
para perawi yang menyampaikan periwayatan jika bersambung sanadnya selalu
menggunakan ungkapan :حَدَّ ثَنَا = memberitakan kepada kami, atau sesamanya seperti
mengkhabarkan kepada kami, dan menceritakan kepada kami. Hadis di sini diartika
sama dengan al – khabar dan an- naba’.
Maka etimologis
ketiga di atas lebih tepat dalam kontek istilah ulumul hadis nanti, karena yang
dimaksud hadis di sini adalah berita yang datang dari Nabi SAW, sedang makna
pertama dalam konteks teologi bukan kontek ilmu hadis. Menurut Abu Al- Baqa’
hadis ( hadist ) adalah kata benda ( isim ) dari kata at- tahdist yang
diartikan al- ikhbar = pemberitaan, kemudian menjadi termin nama suatu
perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Pemberitaan, yamg merupakan makna dari kata hadis sudah dikenal orang Arab
sejak Jahiliyah yaitu untuk menunjuk “ Hari – hari yang populer ” dengan nama
al- ahadits. MenurutAl- fara al- hadits jamak ( plural ) dari katauhdutsah
kemudian dijadikan plural bagi kata hadis.
Dari segi terminologi, banyak para ahli hadis ( muhadditsin ) memberikan definisi yang berbeda redaksi
tetapi maknanya sama.
Hadist mempunyai 3 komponen yakni :
a. Hadis perkataan
yang disebut dengan hadis qawli
b. Hadis perbuatan,
disebut hadis fi’li misalnya shalatnya beliau, haji, perang dan lain lain.
c. Hadis persetujuan,
disebut hadis taqriri, yaitu suatu perbuatan atau perkataan di anatara para
sahabat yang disetujui Nabi.
a.
Menurut
istilah ahli ushul; pengertian hadis adalah :
كل ما صدرعن النبى
ص م غيرالقران الكريم من قول اوفعل اوتقريرممايصلح ان يكون دليلا لحكم شرعى
Hadis yaitu segala
sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain Al Qur’an al Karim, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum
syara”[2]
b.
Sedangkan
menurut istilah fuqaha. Hadis adalah :
كل ماثبت عن النبى
ص م ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب
yaitu segala
sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan
masalah–masalah fardhu atau wajib”
Para ahli ushul
memberi pengertian yang demikian disebabkan mereka bergelut dalam ilmu ushul
yang banyak mempelajari tentang hukum syari’at saja. Dalam pengertian tersebut
hanya yang berhubungan dengan syara’ saja yang merupakan hadis, selain itu
bukan hadis, misalnya urusan berpakaian. Sedangkan para fuqaha mengartikan yang
demikian di karenakan segala sesuatu hukum yang berlabel wajib pasti datangnya
dari Allah swt melalui kitab Al Qur’an. Oleh sebab itu yang terdapat dalam
hadis adalah sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al Qur’an
atau mungkin hanya penjelasannya saja.Sedangkan
c.
menurut
ulama’ Hadis mendefinisikannya sebagai berikut :
كل ما اثر عن النبى
ص م من قول اوفعل اوتقريراوصفة خلقية او خلقية
Segala sesuatu
yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
sifat–sifat maupun hal ikhwal Nabi.
d.
Menurut
jumhur muhadisin sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai
berikut:
مااضيف للنبى ص
م قولااوفعلااوتقريرااونحوها
segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan
dan yang sebagainya”[3]
Perbedaan
pengertian antara ulama’ ushul dan ulama’ hadis di atas disebabkan adanya
perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing–masing.
Ulama’ ushul membahas pribadi dan prilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum
syara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid dizaman sesudah
beliau. Sedangkan ulama Hadis membahas pribadi dan prilaku Nabi Saw sebagai
tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah swt sebagai Uswah
wa Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu ulama hadis mencatat semua
yang terdapat dalam diri Nabi saw baik yang berhubungan dengan hukum syara’
maupun tidak. Oleh karena itu hadis yang dikemukakan oleh ahli ushul yang hanya
mencakup aspek hukum syara’ saja, adalah hadis sebagai sumber tasyri’.
Sedangkan definisi yang dikemukan oleh ulama’ hadis mencakup hal–hal yang lebih
luas.
Jadi, Hadits
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmahnya
Taqrir adalah
perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau
mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau
beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.
Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits
riwayat Ibnu Abbas :
Dikala Rosulullah
saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat
menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah
yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang
akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan
Abu Dawud) tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau
telah wafat.
Menurut Imam
Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani
mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.
2. Definisi Sunnah
Di samping istilah
hadis terdapat sinonim istilah yang sering digunakan oleh para ulama’ yaitu
sunnah. Pengertian istilah tersebut hampir sama, walaupun terdapat beberapa
perbedaan. Maka dari itu kami kemukakan pengertiannya agar lebih jelas.
Sunnah dalam kitab Ushul Al hadis adalah sebagai berikut :
مااثرعن النبى ص
م من قول اوفعل اوتقرير اوصفة خلقية اوسيرة سواء كان قبل البعثة اوبعدها
Segala sesuatu
yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi
Rasul atau sesudahnya”[4]
Dalam pengertian
tersebut tentu ada kesamaan antara hadis dan sunnah, yang sama–sama bersandar
pada Nabi saw, tetapi terdapat kekhususan bahwa sunnah sudah jelas segala yang
bersandar pada pribadi Muhammad baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi
Nabi, misalnya mengembala kambing, menikah minimal umur 25 tahun dan
sebagainya.
Walaupun demikian terdapat perbedaan yang sebaiknya kita tidak
berlebihan dalam menyikapinya. Sebab keduanya sama–sama bersumber pada Nabi
Muhammad saw.
Definisi Sunnah menurut para Ulama’:
Kalangan ahli
agama di dalam memberikan pengertian sunnah berbeda-beda, sebab para Ulama’
memandang sunnah dari segi yang berbeda-beda, pun pula dasar membicarakannya
dari segi yang berlainan.
a. Ulama Hadits
Ulama Hadits memberikan pengertian Sunnah meliputi biografi Nabi,
sifat-sifat Nabi baik yang berupa fisik, umpamanya; mengenai tubuhnya,
rambutnya dan sebagainya, maupun yang mengenai physic dan akhlak Nabi dalam
keadaan sehari-harinya, baik sebelum atau sesudah bi’stah atau di angkat
sebagai nabi.
b. Ulama Ushul Fiqh
Ulama Ushul Fiqh memberikan pengertian sebagai berikut;
“Segalayang
di nuklikan dari Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun
taqrirnya yang ada sangkut pahutnya dengan Hukum”.[5]
c. Ulama Fiqh
Menurut Ulama Fiqh, sunnah ialah “perbuatan yang di lakukan dalam
agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Jadi suatu pekerjaan
yang utama di kerjakan”.
Atau dengan kata lain: sunnah ialah suatu amalan yang di beri
pahala apabila di kerjakan, dan tidak dituntut apabila di tinggalkan.
3. Definisi Khabar
Menurut bahasa
berarti an-Naba’ (berita-berita), sedang jama’nya adalah Akhbar Khabar adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar
tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
Menurut istilah ada tiga pendapat yaitu:
1. Merupakan sinonim
bagi hadits, yakni keduanya berarti satu.
2. Berbeda dengan
hadits, di mana hadits adalah segala sesuatu yang datang dan Nabi SAW. sedang
khabar adalah suatu yang datang dari selain Nabi SAW.
3. Lebih umum dari
hadits, yakni bahwa hadits itu hanya yang datang dari Nabi saja, sedang khabar
itu segala yang datang baik dari Nabi SAW. maupun yang lainnya.
4. Definisi Atsar
Atsar menurut
lughat/etimologi ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, atau berarti sisa
reruntuhan rumah dan sebagainya. dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu
do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur.
Atsar menurut Istilah/terminologi
Sedangkan secara
terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar
sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan
Shahabat.[6]
Menurut istilah
Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar juga hadits, yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Dari
pengertian menurut istilah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sedangkan menurut
ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat)
dan khabar untuk yang marfu. (yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi
wa sallam .
Jadi, atsar
merupakan istilah bagi segala yang disandarkan kepada para sahabat atau
tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari
Nabi shollallahu‘alaihi wa sallam. Contoh Atsar:
Perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu tentang hukum shalat di
belakang ahlul bid’ah:
وَقَالَ الْحَسَنُ:
صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدَعَتُهُ
Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia
kerjakan.
5. Kewahyuan hadits
Apakah seluruh
sabda dan ucapan Nabi Saw merupakan wahyu atau tidak? Dengan kata lain, apakah
seluruh ucapan yang terlontar dari lisan Nabi Saw dan kemudian segala perbuatan
yang dilakukan oleh Nabi Saw merupakan ajaran dan pelajaran Ilahi yang
disampaikan kepadanya melalui wahyu, atau terdapat ucapan dan sabda Nabi Saw
yang bukan wahyu atau ucapan dan sabda yang berkaitan dengan agama dan
hukum-hukum harus dipisahkan dengan ucapan yang bertalian dengan obrolan
keseharian?
Jawaban Global:
Terdapat ragam
pendapat para pemikir otoritatif terkait masalah ini. Sebagian berpandangan,
dengan memperhatikan kemutlakan ayat 3 dan 4 surah an-Najm, bahwa seluruh
ucapan, perbuatan dan perilaku Nabi Saw adalah wahyu. Sebagian lainnya
berkeyakinan bahwa ayat 4 surah al-Najm terkait dengan al-Qur’an dan ayat-ayat
yang diwahyukan kepada Nabi Saw. Meski Sunnah Nabi Saw merupakan hujjah,
ucapan, tindakan dan diamnya tidak bersumber dari hawa nafsu.
Nampaknya yang
dapat dikatakan dalam masalah ini secara definitif adalah bahwa tidak satu pun perbuatan
dan sirah Nabi Saw yang dilakukan tanpa izin wahyu, sebagaimana ucapan beliau
demikan juga adanya. Dan obrolan keseharian dan adat kehidupan Nabi Saw tidak
berasal dari hawa nafsu, pada hakikatnya mustahil terjadi perbuatan dosa pada
pribadi Rasulullah Saw dalam hal ini.
Jawaban Global:
Tanpa syak, para
nabi Allah memiliki hubungan khusus dengan Allah Swt dan mereka menerima
berbagai hukum, aturan, ajaran Ilahi melalui hubungan ini yang kemudian
disampaikan kepada masyarakat.
Realitas dan kuiditas
hubungan ini merupakan perkara yang sangat pelik dan manusia tidak mampu
memahami dan mencerap hubungan dengan baik. Namun hal itu tidak bermakna
kejahilan mutlak manusia terhadap permasalahan ini. Dengan kata lain, masalah “wahyu” bukan merupakan sebuah
permasalahan yang tidak dapat dipahami dan dikenali hakikatnya oleh manusia
sehingga harus ditinggalkan dan dibiarkan begitu saja. Namun ia dapat dipahami
sesuai dengan kadar dan keluasan akal, pemahaman, pencerapan, manusia yang
dapat menggali wahyu dan firman Ilahi ini.
Wahyu secara leksikal
Wahyu merupakan
prinsip dan kaidah yang berguna untuk menyampaikan “ilmu” dan sebagainya.
Tipologi wahyu adalah sebuah isyarat cepat yang bertautan dengan tulisan dan
risalah, terkadang merupakan deklarasi terhadap
rumusan dan formula, terkadang dalam bentuk tunggal dan terlepas dari susunan,
isyarah terhadap sebagian anggota badan, terkadang bermakna ilham dan ucapan
tersembunyi. Karena itu, tersembunyi, cepat dan misterius tergolong sebagai
rukun-rukun asli wahyu.
Hakikat wahyu
Wahyu pada umumnya
sepadan dengan ilmu, pemahaman dan pencerapan. Tidak setimpal dengan perbuatan
dan pergerakan, kendati manusia tatkala melakukan perbuatan mencari bantuan
dari percikan pemikiran dan pandangan. Ilmu dan pemahaman merupakan bentuk
tipikal eksistensi yang jauh dan bebas dari kuiditas.
Dengan kata lain,
wahyu merupakan pahaman yang disaripatikan dari “keberadaan.” Dengan demikian,
wahyu tidak memiliki kuiditas dan tidak dapat dimaknakan melalui genus,
differentia, definisi, gambaran (rasm). Karena itu, wahyu jauh dan terbebas
dari sepuluh kategori kuiditas yang umum dikenal orang. Pahaman wahyu seperti
makna keberadaan memiliki instanta luaran (mishdaq) dimana contoh luaran ini
memiliki tingkatan yang beragam dan berbeda.
Karena itu,
berbagai definisi yang dibeberkan bagi wahyu merupakan definisi syarh al-ism
(alih-bahasa semata) bukan definisi hakiki. Di samping itu, wahyu bukan
merupakan hubungan biasa sehingga dapat dicerap dan dipahami dengan mudah oleh
siapa saja.
Definisi wahyu
Allamah
Thabathabai dalam mendefinisikan wahyu berkata, “wahyu merupakan pencerapan dan
pemahaman khusus dalam batin para nabi dimana hal ini tidak mungkin diperoleh
oleh siapa saja kecuali mereka yang mendapatkan inâyah (perhatian khusus) Allah
Swt.
Allamah
Thabathabai pada kesempatan lain menulis, “Wahyu adalah perkara ekstraordinari
(luarbiasa) yang berasal dari pencerapan-pencerapan batin dan pemahaman
simbolik yang tertutup dari indera-indera lahir.
Dalam menjawab
pertanyaan yang mengemuka maka harus dikatakan bahwa: Para pemikir dan ulama
Islam melontarkan berbagai pandangan beragam dan berbeda dengan memanfaatkan
ayat-ayat dan riwayat-riwayat:
Abdurrazzaq Lahiji
terkait masalah ini berkata, “Apabila ada orang yang menduga bahwa Nabi Saw
pada sebuah perkara beramal berdasarkan pikiranya sendiri dan tidak menantikan
wahyu maka dari sudut mana pun orang ini tidak tahu dan jahil terhadap tujuan
kenabian dan hakikat nabi. Dan orang sedemikian di hadapan orang-orang berakal
telah keluar dari wilayah agama, khususnya karena hal ini bertentangan dengan
nash al-Qur’an “wama yanthiqu anilhawa, in huwa wahyu yuha” dan menspesifikasi
(takhsis) masalah ini terhadap sebagian masalah lainnya sejatinya merupakan
perbuatan yang tidak dapat diterima. Seluruh urusan yang bertalian dengan agama
memerlukan izin Ilahi dan wahyu Rabbani, nah tatkala Nabi tidak berbuat
berdasarkan pendapatnya sendiri maka bagaimana mungkin orang lain dapat berbuat
sebaliknya.
B. Perbedaan Hadits dan
Sunah
Hadits dan Sunnah
: Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi
SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya,
baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
Hadits sering
disebut juga Assunnah dan juga sebaliknya. Meski secara istilahi makna hadits
dan assunah adalah sama, namun ulama berbeda pendapat tentang ruang lingkup
hadits dan assunah. Pendapat as suyuti, syaf’i, madzahibul arba’ah serta
beberapa ulama lainnya, seperti yang dikutip albani dalam kitab muqoddimah
ulumul hadits, bahwa hadits itu hakikatnya sama dengan assunah, dalam semua
arti. Terjadinya perbedaan istilah, itu hanya menunjukan sifat cakupannya dapat
dikatakan perbedaan alhadits dan assunah hanya pada karakternya semata, dimana
bahwa hadits lebih luas dari Assunnah. Hadits itu bisa shohih, do’if atau
maudhu’, dan memungkinkan untuk tertolak sedang Assunah adalah hadits yang
istidlal (dijadikan rujukan dalil) oleh ulama menjadi ketetapan atau hukum.
Demikian dikatakan alauza’i, ibnu sirrin, dan albani sendiri. Tapi mereka sepakat, di antara keduanya
terdapat jalinan yang erat.
BAB III
PENUTUP
1)
Kesimpulan
a) Pengertian hadits
Kata
"Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti
al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain
b) Pengertian as-Sunnah
Sunnah menurut
bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelak".
Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa
(lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang
sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
c) Definisi Khabar
Menurut bahasa
berarti an-Naba’ (berita-berita), sedang jama’nya adalah Akhbar Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap
hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
d) Definisi Atsar
Atsar menurut
lughat/etimologi ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, atau berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya.
dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu
do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur.
Demikian makalah
yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan
kita dan bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Studi hadits Dr.idri M.Ag
http://referensiagama.blogspot.com. Tanggal 01 November 2011
Prof, Drs. H. Masj fuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, pt. Bina Ilmu,
Surabaya
Al-Siba’i, Dr.Mustafa, Al-Sunnah Wa Makanatuha Fi Al-Tasyri’
Al-Islami, (Kairo: Dar Al-Salam
Muhammad Al-sabbagh inb muhammad, syihab Al-wasith fi almustalah
hadits, (beirut :dart al fikr tth)hlm 23
[1] Muhammad
Al-sabbagh inb muhammad, syihab Al-wasith fi almustalah hadits, (beirut
:dart al fikr tth)hlm 23
[2] Muhammad
ajjjal al-khatib, ushul al-hadits
[3] muhammad
mahfuz al-trmisi, manhaj zawi alnazar
[4] Ajjaj
Al-Khatib, Muhammad, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997),
[5] Ibn Abdillah
Al-Tirmisi, Muhammad Mahfudz, Manhaj Dzawi Al-Nazhar, (Jeddah: Al-Haramain
[6] Al-Siba’i,
Dr.Mustafa, Al-Sunnah Wa Makanatuha Fi Al-Tasyri’ Al-Islami, (Kairo: Dar
Al-Salam
0 komentar:
Posting Komentar