BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berpeganglah kamu
sekalian dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin setelahku. Berpegang
teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi gerahammu. Jauhilah
perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena setiap amalan yang diada-adakan
itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan
Ibnu Majah
Sunnah dan bid’ah
adalah dua soal yang saling berhadap-hadapandalam memahami ucapan-ucapan
Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum
syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas
pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya
lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa
menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.Karena itu mereka terperosok
kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya
mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka
sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah
lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw.
menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Segala puji hanya
bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad ﷺ,
beserta keluarganya, para sahabatnya, serta pengikutnya yang istiqamah di atas
sunnahnya.
Hadits yang
disebutkan di atas merupakan hadits yang memiliki pesan makna yang sangat
dalam. Ya, apalagi untuk kita, kaum muslimin di era modern ini. Ketika kita
yang hidup di zaman yang ilmu merupakan barang langka di masyarakat kita, kita
yang mengaku kaum muslimin ini rasanya gampang sekali terbawa arus fitnah dunia
kala ini. Dan kini ketika kita menengok kembali wasiat dari pembimbing kita,
Rasulullah ﷺ,
di sana kita temukan wasiat untuk berpegang kepada sunnah dan menjauhi bid’ah.
Namun yang menjadi masalah kita saat ini, apa itu sunnah yang harus kita
pegang? Dan apa itu bid’ah yang harus kita jauhi? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu, maka simak lah pembahasannya dalam artikel ini.
BAB II
PEMAHASAN
1.
Pengertian
Sunnah
Dengan kemunculan Abul Hasan Al
Asy’ari yang merancang akidah barunya (di mana sebelumnya, selama kurang lebih
empat puluh tahun ia bermazhab Mu’tazilah bahkan seorang tokoh pembelanya, dan
kemudian mendadak berbalik arah menentang mazhab Mu’tazilah dan membela Ahli
Hadis dan merancang akidah baru yang tidak sepenuhnya persis dengan akidah Ahli
hadis)… dengan kemunculannya, nama Ahlu Sunnah menjadi monopoli kaum
Asy’ariyah! Maka siapapun selain yang berakidah Asyi’ari adalah Ahli Bid’ah!
Dengan kebangkitan
kaum Wahhâbi yang sering kerkedok dengan nama Salafi yang dimotori oleh para
ulama AS (Arab Saudi) dan dengan dukungan penuh real AS… mereka merebut kembali
monopoli nama Ahlu Sunnah hanya untuk mereka.. kini giliran kaum Asy’ariyah
dikeluarkan dari Ahlu Sunnah… dalam keyakinan mereka kaum Asy’ariyah adalah Ahli
Bid’ah
Secara bahasa,
sunnah adalah metode (jalan) dan perilaku, yang baik maupun yang buruk. (Ibnu
Manzhur, dalam Lisanul ‘Arab 13/225)
Sementara itu,
para ulama juga telah mendefinisikan sunnah secara istilah.Ibnu Rajab Al
Hanbali berkata, “Sunnah adalah cara yang ditempuh Rasulullah ﷺ. Termasuk berpegang teguh kepada apa yang
menjadi landasan beliau ﷺ dan para Khulafaurrasyidin, baik dalam
keyakinan perbuatan, maupun perkataan. Inilah sunnah yang sempurna.” (Jaami’ul
Ulum wal Hikam I/20)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “(Sunnah berarti) mengikuti jejak Rasulullah ﷺ secara lahir dan batin, mengikuti jalan para
pendahulu yang utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar.” (Majmuu’ Fataawa
III/157)
Sehingga, bisa
kita simpulkan bahwa sunnah adalah petunjuk yang menjadi pedoman Rasulullah ﷺ dan para sahabat beliau, baik dalam keilmuan,
keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Itulah sunnah yang wajib diikuti, dipuji
pelakunya, dan dicela orang yang menyelisihinya. (Syaikh Sa’id nin Ali bin Wahf
Al Qahthani,Nuurussunnah wa Zhulumatul Bid’ah)
Wajibnya Mengikuti
Sunnah Nabi dan Para Sahabatnya Allah subhanahu wata’ala berfirman, Apa saja
yang disampaikan Rasul kepada kamu, terimalah. Dan apa saja yang dilarangnya
bagi kamu, maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr: 7)
Sungguh telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang
yang mengharap Allah dan hari akhir, dan banyak mengingat Allah”(QS.Al-Ahzab:
21) Katakanlah (wahai Muhammad), Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 54)
Dan orang-orang
yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan
Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di
dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung” (QS. At Taubah: 100) Rasulullah ﷺ bersabda : Barangsiapa yang menolak sunnahku
maka dia bukanlah bagian dariku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Umatku akan
terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali
satu golongan.” Para sahabat bertanya, “Siapa golongan itu, wahai Rasulullah?”.
Beliau menjawab, “Golongan yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku
berada” (HR. Tirmidzi)
Sungguh telah aku
tinggalkan bagi kalian dua perkara . kalian tidak akan tersesat jika berpegang
dengan keduanya. Yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Kalian tidak akan berpecah
hingga nanti kalian sampai di telagaku” (HR. Hakim, Ad Daruquthni, dan Baihaqi)
Apabila kamu
mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah ﷺ, maka berkatalah dengan Sunnah Rasulullah ﷺ dan tinggalkanlah apa yang aku katakan!”
(I’lamul Muwaqqi’in 2/361)
Kaum muslimin
telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang banginya Sunnah Rasulullah ﷺ, maka tidak halal baginya untuk
meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang” (I’lamul Muwaqqi’in
2/361)
Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk
ke dalam neraka, kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya, “Siapa golongan
itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Golongan yang berada di atas apa
yang aku dan para sahabatku berada” (HR .
Tirmidzi)
Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua perkara . kalian
tidak akan tersesat jika berpegang dengan keduanya. Yaitu Kitabullah dan
Sunnahku. Kalian tidak akan berpecah hingga nanti kalian sampai di telagaku”
(HR. Hakim, Ad Daruquthni, dan Baihaqi)
Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah
kemenangan yang besar.” (QS. An Nisaa’: 13)
Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur: 63
2.
Pengertian
Bid’ah
Setelah tadi kita
mengenal apa itu sunnah, maka kini kita beralih pada pembahasan seputar bid’ah.
Secara bahasa, bid’ah berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat
Al Mu’jam Al Wasith, 1/91
Definisi bid’ah
secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam
Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ
طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ
عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah
untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang
menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah
untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas
adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya
adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah,
mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي
الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا
مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam
agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran
Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana
niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al
I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi yang
tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau
rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ
: مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ
وَالْعِبَادَاتِ
Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al
Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346,
Asy Syamilah)
Adapun secara
istilah syar’i, maka para ulama memiliki definisi yang beragam. Diantaranya apa
yang dituturkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Bid’ah adalah i’tiqad (keyakinan)
dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan)
salaf.” (Majmu’ Al Fataawa, 18/346)
Iman Asy-Syahtibi
(dalam as-sunnah wa al-bid’ah baina at-ta’shil wa at- tathbiq 12-14)
berkata,”bid’ah adalah jalan dalam agama yang dibuat-buat, yang menyerupai
syariat, yang dilakukan dengan tujuan berlebih-lebihan dalam beribadah kepada
Allah”.
Bid’ah adalah
ungkapan (untuk) jalan beragama yang baru, yang menyerupai syariat dan maksud
dikerjakannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah” (Al
I’tisham, 1/23) Dan secara ringkas, bid’ah yang dimaksud dalam hadits-hadits
Nabi ﷺ
mengenai bid’ah adalah sebagaimana yang dituturkan Imam Jauhari, Bidah adalah
perkara baru dalam agama setelah (agama itu) sempurna” (Ilmu Ushulil Bida’,
hlm. 24)
Ketahuilah, bahwa
seluruh bid’ah itu sesat. Namun ada saja orang-orang yang mengklaim bahwa
ritual-ritual bid’ah dalam ibadah yang mereka lakukan itu mereka katakan
sebagai perbuatan baik, sebagai sebuah kebaikan, atau yang sering disebut
bid’ah hasanah. Padahal, telah jelas dalil dari Nabi Muhammad ﷺ,
Jauhilah oleh
kalian perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap perkara baru (dalam
agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Ahmad, Hakim, Ibnu
Majah, dll.)
Abdullah bin
Mas’ud ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat sekelompok
orang yang membentuk majelis. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan
cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan
mengatakan,
Hitunglah
dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan
kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat
kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau ﷺ juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah.
Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang
lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan
(bid’ah)?”
3.
Bahaya
Perbuatan Bid’ah
Sesungguhnya
bahaya perbuatan bid’ah itu amatlah banyak kerusakannya. Dan banyaknya
kerusakan dan bahaya yang muncul dari bid’ah, diantaranya adalah:
Barangsiapa yang beramal
tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim)
Sungguh merugi
pelaku bid’ah. Sudah beramal banyak tapi ternyata ditolak. Katakanlah:
"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 103-104)
Sesungguhnya Allah
menghalangi taubat dari setiap ahli
bid’ah” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dikuatkan dari jalur Anas bin ‘Iyadl Al Laits Al
Madani. Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah dan Shahih At Targhib wat
Tarhib juz I hlm. 97)
Mengapa bisa
demikian? Karena perbuatan bid’ah yang dianggap baik maka pelakunya akan sulit
keluar dari bid’ah tersebut.
Sufyan Ats Tsauri
berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa.
Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu
sulit bertaubat” (Talbis Iblis, hlm. 22)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “Oleh karena itu para imam seperti Sufyan Ats Tsauri dan
lainnya menyatakan bahwa sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada
maksiat karena pelaku bid’ah tidak diharapkan taubatnya sedangkan pelaku
maksiat diharapkan taubatnya. Makna ucapan mereka bahwa pelaku bid’ah tidak
diharapkan taubatnya karena seorang mubtadi’ yang menjadikan bid’ahnya sebagai
Dien yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya telah tergambar indah baginya
amal jeleknya itu sehingga ia memandangnya baik. Maka ia tidak akan bertaubat
selama dia memandangnya sebagai perkara yang baik. Karena awal taubat itu
adalah pengetahuan bahwa perbuatannya itu jelek sehingga dia mau bertaubat.
Atau perbuatannya meninggalkan kebaikan yang diperintahkan, baik perintah wajib
maupun mustahab agar dia bertaubat darinya dengan melaksanakan perintah
tersebut. Selama dia memandang perbuatannya itu baik padahal jelek, maka dia
tidak akan bertaubat.” (Majmu’ Fatawa juz 10 hlm. 9) Bid’ah hakiki
Adalah hal baru
yang ada dalam agama dengan tidak
berdasar pada dasar-dasar yang telah ada dalam agama atau pada cabang-cabang
agama. Artinya hal baru tersebut tidak berdasar dalil syara’ baik dari
al-Quran, As Sunnah ataupun ijma’.
Hal baru ini murni
buatan manusia dan dimasukan kedalam agama dengan tujuan tertentu oleh
pelakunya. Tujuannya bisa benar dan bisa juga salah. Contoh; membangun
kuburan/memasang kubah diatasnya, menghias masjid. Semua itu adalah bid’ah
karena tidak ada dasar rujukannaya dalam Al-Quran, As Sunnah atau ijma’. Bahkan
syara’ mengharamkannya, melarang dan memberikan ancaman jika melakukannya.
Adalah apa-apa
yang dibuat-buat dalam agama yang ada dalil nya dari Al-Quran, As Sunnah atau
Ijma’ yang mana keberadaannya disandarkan kepada salah-satu dari ketiganya itu,
akan tetapi ia merupakan bid’ah dilihat dari sisi bahwa ia adalah tambahan
terhadap apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Contoh; adalah
dzikir dengan berkelompok secara bersama-sama. Dzikir adalah sesuatu yang
disyariatkan oleh Allah dalam kitab-Nya (Quran, Al Ahzab:41-42) “hai
orang-orang yang beriman, berdzikirlah(dengan menyebut nama)Allah, dzikir yang
sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”
Namun bentuk dan
pelaksanaan dzikir dengan cara berkelompok dan dilakukan dengan bersama-sama
adalah bid’ah yang diada-adakan, karena pelaksanaan seperti itu tidak pernah
diajarkan dan tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, pada masa sahabat,
dan tidak pula pada masa para tabiin, sehinga dzikir dengan berkelompok dan
dilaksanakan dengan bersama-sama adalah salah satu bid’ah idhafiyah yang
mempunyai dua sisi; satu sisi yang mengikutinya pada selain bid’ah dan sisi
lain yang mengikutinya dengan bid’ah yang harus ditinggalkan dan tidak boleh
dilakukan.
Bid’ah idhafiyah
lebih banyak ditemukan padi pada bid’ah hakiki, meski bid’ah hakiki pun tidak
sedikit jumlahnya. Dan perlu ditambahkan bahwa bid’ah dapat menyebabkan pembuat
dan pelakunya kafir dan fasik. (hurmatul ibtida’fi Ad-Din karya Abu Bakar Al
Jazairi. Hal 13-15).
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة
ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
Bid’ah itu ada dua
macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah,
maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah
bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ
ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا
فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ
بِدْعَةٌ غَيْر مَذْمُوْمَةٌ
Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an,
Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah
perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan
salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah
tercela’
BAB III
PENUTUP
1)
Suatu
hari ketika Rasulullah ﷺ bersama para sahabatnya, beliau menggambar
garis lurus di atas tanah dan menggariskan garis-garis lain di kanan dan
kirinya. Kemudian beliau ﷺ menunjuk garis lurus tersebut seraya berkata,
“Ini adalah jalan Allah”. Dan beliau menunjuk garis-garis yang bercabang di
kanan dan di kirinya dengan mengatakan: ”Ini adalah jalan-jalan sesat, di
setiap ujung jalan-jalan ini terdapat setan yang menyeru kepadanya”. Kemudian
beliau membaca ayat,
2)
Dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am: 153)
Demikian yang mampu kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita
semua.
Wa shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aali hi wa shahbihi
wa sallam, Akhiru da’wana anil hamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin.
0 komentar:
Posting Komentar